Rabu, 22 Mei 2013

TAKUT

Oleh Della Palapa

Seketika dunia ini menjadi gelap
Menjadi sunyi
Seperti tak ada penghuni
Membuat ku takut
Kemankah terang itu pergi
Terang
Yang selalu meneragi dunia ini
Gelap
Sampai kapankah kau begini
Mungkinkah aku harus ada dalam kegelapan
Kegelapan yang membuatku takut
Takut karena  kau tak bisa kembali menjadi terang
Terang
Aku sangat  mebutuhkanmu
Yang membuatku bahagia
Menjadikan hidup ini sempurna
Dan membuatku ingin hidup lebih lama lagi
Tataaran, 4 November 2012
Pukul_ 21:25

TAK TAHAN AKU JAUHI DARIMU


Sebuah cerpen oleh
Iswan Sual, S.S

“ Lan, besok…mungkin aku sudah di Manado. Lamaranku diterima. Mulai besok aku sudah harus bekerja. Kamu tidak marah kan kalau untuk sementara kita harus berjauhan? Aku harus kerja. Menganggur itu tak baik. Aku tak mau jadi beban orangtuaku. Kamu tahu kan kalau sekarang aku sudah jadi seorang sarjana?”, kata Felix pada pacarnya dengan perasaan senang bercampur sedih.
Wulandari sedikitpun tak bersuara. Dia hanya diam sambil menatap wajah sang kekasih yang menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
“ Aku janji akan mencari pekerjaan yang lebih baik dan tak jauh dari kota ini nanti. Aku juga tak ingin jauh darimu. Aku menyayangimu Wulan. Percayalah. Tapi…kepergianku besok belum pasti kok. Soalnya aku belum dapat uang untuk membiayai hidupku selama satu bulan ke depan sebelum ganjinya kuterima.”
Mendengar perkataan Feliks, mata Wulandari mulai berkedip pertanda bahwa dia bisa tenang untuk sementara. Wajahnya mulai berseri dan melemparkan senyuman kepada Felix dan ke seluruh sudut kamar kos, tempat Felix tinggal.
Menyadari hal itu, Felixpun memberi kecupan ke dahi dan bibir mulan beberapa kali.
***
Setelah berusaha keras meminjam uang, namun gagal, dari beberapa teman, akhirnya Feliks menyerah. Tak satupun temannya yang bisa dia pinjami uang. Maklum sekarang akhir bulan. Felixpun berkata dalam hatinya “ Mungkin belum waktunya aku jauh dari Wulan.”
Meskipun demikian, Felix pulang ke kosnya dengan perasaan puas karena usaha keras sudah dilaksanakan. Saat gembok kamar baru saja dilepaskannya, telpon berbunyi. “ Halo, kenapa Lan?”, tanya Felix dengan suara lembut dan wajah yang senyum.
“ Fel, aku bukannya tak mau kau bekerja. Bukannya aku menghalangimu supaya tidak membebani orang tuamu, tapi….sangat sulit kalau aku harus jauh dari kamu. Aku sudah mencoba mengerti dan bersikap biasa-biasa saja. tapi waktu teringat kamu tadi…aku pikir...aku harus memberitahu perasaanku yang sesungguhnya,” ungkap Wulandari dengan nada mengeluh dan memohon.
“ Lan, kamu tak usah kuatir. Besok aku batal meninggalkan Tondano. Tak satupun yang meminjamkanku uang. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan ini terjadi karena kita berdua sama-sama belum siap dengan perpisahan ini…walaupun hanya sementara,” kata Felix santai sambil memandangi potret kekasihnya yang ditaruh di atas meja belajarnya.
“ Lho..benar nih? Aduh thanks God. Tapi bukan karena aku yang memaksa kamu kan?”, dengan senang Wulan langsung bertanya lagi.
Setelah percakapan lewat telepon itu, Felixpun menelpon ke Manado untuk memberitahukan bahwa dia belum bisa bekerja di sana karena terganjal oleh masalah keuangan. Pihak yang akan mempekerjakannyapun mengiyakan dan meminta supaya bisa mulai bekerja bulan berikutnya setelah perayaan Natal dan Tahun baru selesai.
Waktu berlalu begitu cepat. Felix dan Wulandari semakin lengket dan mesra. Mereka sudah saling janji untuk sehidup semati walaupun belum memutuskan untuk menikah secepatnya. Mereka sepakat pernikahan dilangsungkan 4 sampai 5 tahun lagi setelah Wulandari menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri Manado.
***
Felix merayakan Natal di kampungnya bersama keluarga. Sedangkan Wulandari di Tondano bersama Opa dan Omanya. Juga adiknya. Mereka tak cukup bahagia karena jarak memisahkan mereka.
***
Pada perayaan tahun baru mereka sepakat untuk bersama-sama. Mereka pergi ke gereja bersama dan saling bertukar foto, surat dan kartu ucapan tentang harapan-harapan mereka berdua di tahun baru untuk hubungan spesial mereka. Cahaya-cahaya lampu di saat Natal dan Tahun baru terus melekat pada dalam benak sepasang kekasih ini. Mereka sangat bahagia karena mereka sudah berpacaran hampir mencapai 4 bulan.
***
Tepat pada tanggal 9 Januari 2006 Felix ditelpon oleh orang yang bakal menjadi bosnya supaya segera masuk kerja. Hari itu juga, setelah pamit pada Wulandari, dia berangkat menuju ke Manado. Selama perjalanan mereka saling mengirim sms untuk saling mengingatkan masing-masing supaya menjaga diri dan setia menjaga hubungan. Felix senang dengan pekerjaannya sebagai pengajar di lembaga pendidikan keterampilan yang bernama Max’s Learning Center-sebuah lembaga yang dimiliki oleh sepasang suami istri berdarah Kanada dan Tionghoa. Dia sudah senang dengan pekerjaan sejenis itu saat masih kuliah di Universitas Negeri Manado. Namun tetap saja harinya selalu gunda saat dia sendiri dan memikirkan Wulandari yang kini jauh dari pandangannya. Serasa baru sebentar dia membelai rambut, mencium bibir, dan memeluk tubuh Wulandari.
Perasaan cemburu yang berlebihan kadang muncul. Saat dia membayangkan kekasihnya yang cantik itu kalau-kalau didekati lelaki lain dan tergoda sampai menyukai mereka.
Sekarang Felix selalu menelpon Wulandari. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan sms untuk saling bertanya kabar. Namun semua kini kadang-kadang pesan pendek melului HP tak cukup untuk mengobati rindu.
Sekali seminggu Felix pergi menjenguk Wulandari di Tondano untuk melepas rindu. Kamar kospun menjadi saksi perbuatan mereka yang mulai menanjak ke tahap kemesuman. Waktu yang hanya sehari pada akhir pekan membuat mereka berusaha sedapat mungkin menggunakannya dengan sebaik mungkin.
***
Tak jarang juga jarak yang memisahkan mereka menjadi sebab kesalahpahaman sulit diatasi. Komunikasi sulit terjalin dengan baik. Saat mereka sedang bertengkar perasaan marah dan kesal terasa sulit ditepis dan diatasi. Kadang-kadang terbesit kata dalam pikiran masing-masing untuk segera mengakhiri hubungan.
Wulan hampir-hampir mau menyerah. Apalagi banyak teman laki-lakinya di kampus yang perhatian dan selalu siap membantunya kapanpun dia membutuhkan.
Rasanya godaan-godaan itu mulai mempengaruhinya. Ada beberapa cowok yang sudah mengungkapkan isi hati mereka, katanya. Karena konflik antara dia dan Felix, Wulandari sengaja enggan menolak keinginan cowok-cowok itu. Sekedar untuk menyenangkan perasaan. Tapi sebenarnya itu tak akan disukai oleh Felix. Jika sampai diketahuinya. Wulandari menyembunyikan itu dari Felix. Namun Wulandari juga tidak berani menerima cinta mereka. Dia hanya bimbang dan bingung. Seakan-akan memberi harapan pada cowok-cowok itu.
Felixpun tak jarang nyaris tergoda oleh rayuan dari teman-teman sekerjanya. Dia sering diajak ke tempat-tempat tertentu yang senantiasa memberi peluang-peluang untuk menyeleweng.
Kadang-kadang dia juga teringat wajah-wajah elok pacar-pacarnya sebelumnya yang perhatian dan tak banyak menuntut darinya.
Kalau mau jujur, Felixpun merasa bahwa Wulandari adalah tipe cewek yang suka menuntut dan suka memaksa. Felix kadang berpikir tentang sifat kekanak-kanakan dan egois dari Wulandari.
Ada suatu saat, ketika Felix hendak berangkat ke tempat dia bekerja, dia berpapasan dengan seorang gadis. Mantan kekasihnya.
“ Hei...kamu Felix kan? Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu lagi. Apa kabarmu, Fel?,” tanya Aurilia dengan sedikit menggoda.
“ Aurilia..! Iya aku Felix. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kamu di sini. Kabarku baik,” jawab Felix sekedar basa-basi.
Dia teringat dengan Wulandari yang mungkin akan marah kalau mengetahui pertemuan ini. Padahal tidak disengaja.
Dia tak ingin nanti Wulandari terluka karena menyempatkan diri untuk bertanya kabar satu sama lain dengan gadis bertubuh seksi dan berkulit putih ini. Felix juga tak ingin Wulandari melakukan hal yang sama. Itu sama dengan penghianatan!
Tanpa banyak berkata-kata Felix melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan dengan Aurilia. Felix teringat janjinya pada Wulan untuk tak akan berhubungan lagi dengan orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ingatpun tak boleh. Apalagi berbincang-bincang dengan mereka.
***
Banyak juga bekas pacar Felix yang sering menghubunginya lewat telepon. Dalam keadaan yang sedang bertengkar dengan Wulan, Felix bergulat dengan susah payahnya untuk menyelamatkan hubungannya dengan Wulan. Meskipun sulit!
Felix memutuskan untuk menghapus semua nomor telepon mantan-mantan pacarnya dan gadis yang pernah atau sementara berusaha mendekatinya.
Wulandari yang sempat sering berhubungan telpon dengan cowok-cowok se-kampus dengan dia juga melakukan hal yang sama. Wulandari sadar bahwa semua orang yang mendekatinya sekarang merupakan godaan secara tidak langsung untuk menghancurkan hubungannya dengan Felix.
“ Lagipula belum tentu mereka lebih baik atau sebaik Felix, “ pikirnya.
***
“ Lan, aku aku minta maaf ya untuk soal kemarin-kemarin. Aku terlalu emosional. Habis...kamu juga sih...marah-marah padaku di saat yang tak tepat. Tapi apapun kesalahan aku...tolong dimaafkan ya... aku juga tak akan mengingat-ingat kesalahan kamu,” kata Felix melalui telepon setelah beberapa hari sempat bertengkar sangat hebat.
“ Felix, aku juga minta maaf. Aku tahu aku juga waktu itu emosional. Aku sayang kamu, Felix,” jawab Wulandari seraya membiarkan air mata bahagianya perlahan menuruni pipinya yang kemerahan karena sudah akur lagi dengan sang pujaan hati.
***
Setelah genap sebulan bekerja, Felix mengundurkan diri dari pekerjaannya karena dia merasa sangat diperlakukan tidak adil. Dia dibayar kurang dari Rp. 900.000. Padahal dia pantas mendapatkan lebih karena kemampuannya dan ijasah S1-nya. Dia juga kini siap untuk bekerja di tempat yang baru. Dia melamar pekerjaan di Manado Post sebagai wartawan. Sangat senang hatinya karena melihat namanya terpampang di koran. Dia telah diterima untuk menjadi wartawan. Pekerjaan yang diidam-idamkannya selama ini.
***
Wulandari dan Felix sangat mensyukuri hal itu. Mereka mulai sering bertemu lagi dan bersama-sama menempuh hari-hari mereka. Kalau lagi libur, Felix selalu menjemput Wulandari di kampus. Mereka telah dipersatukan oleh keinginan untuk selalu bersama.
***
TAMAT

ASAL MULA BURUNG TERIOR

Oleh Iswan Sual

Di suatu desa yang berbukit tinggallah seorang ibu bersama seorang anaknya laki-laki. Anak laki-laki itu telah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih dikandungan ibunya. Kepahitan hidup karena ditinggalkan suami membuat ibunya sakit-sakitan. Karena tak memiliki sanak saudara, wanita itu mengurus dirinya dan anaknya tanpa bantuan orang lain. Tambah lagi tinggal mereka agak jauh dari keramaian, ini membuat orang-orang di desa mereka jarang bersua dengan mereka.
Keruwetan hidup yang dialami orang wanita ini membuatnya menjadi seorang ibu yang keras terhadap anaknya. Dia berusaha mendidik anaknya untuk bekerja semenjak usia anaknya belum pantas untuk melakukan pekerjaan. Anak itu pun menurut dan menerima kenyataan.
Menjelang senja disuruhnya anaknya yang bernama Wuring itu untuk menimba air. Letaknya jauh dari kampung. Jalan yang harus ditempuh penuh becek dan menanjak. Melihat ibunya yang sudah tak berdaya, dengan sedikit takut karena hari mulai gelap, anak itu pun memaksa diri turun dengan perlahan menyusuri jalan ke mata air.
Baru beberapa saat di pancuran, hari sudah menjadi sangat gelap. Pohon yang rimbun membuat keadaan di sekitar kian pekat. Karena tak ada obor dia pulang dengan berjalan meraba-raba dengan kakinya. Dibantu tangan kanannya. Sedangkan tangan lainnya menahan beban di bahu. Belum sampai sepuluh meter dari pancuran dia terpeleset dan jatuh. Braak! Semua air dalam bambu tumpah di jalan yang becek itu. Untung wadah airnya tidak sampai pecah. Tanpa putus asa dia kembali menimba. Bunyi jangkrik, kodok bahkan burung hantu tidak diperdulikannya. Bayangan ular-ular berukuran sebesar badannya, yang konon sering dilihat oleh warga, tidak menggangu konsentrasinya menanti air penuh dalam bambu beruas lima tersebut.
Ibu yang menunggu di sabuah geram sebab anaknya tak kunjung tiba. Kepergian Wuring sudah terhitung lama, tidak seperti biasanya. Dia menyangka anaknya bermain dengan teman-temannya di mata air.
Dengan usaha terbaiknya dia pun mengambil sebatang rotan yang digantungkan di dinding. “Anak tak tahu diuntung! Rasakan jambuk ini bila kau kembali,” gumamnya.
Sang anak mengap-mengap menaiki tanjakan. Hampir kehabisan nafas. Berusaha dia menjaga keseimbangan agar tak jatuh. “Uter keli!” katanya. Berat sekali.
“Wuring! Dimana kamu? Kurangajar kamu ya!” ibunya berteriak dari sabuah.
Wuring tahu betul bila ibunya sudah berteriak begitu, pasti dia akan dilecut dengan cambuk hingga badannya bengkak-bengkak. Keperihan yang diakibatkan oleh rotan bisa berlangsung sampai berhari-berhari. Kian perih bila tak sengaja mengena rerumputan.
“Wuriiiing!” ibunya berteriak tanpa sabar tersisa.
“Iya bu! Sebentar lagi. Uter! Berat! Pikulannya terlalu berat!”
Semakin keras ibunya berteriak semakin keras juga Wuring berteriak. Dia terus menyebut kata uter yang berarti berat. Namun, dia semakin takut. Pikirannya kalut. Dia terus meneriakkan kata uter sambil menaiki bukit di belakang tempat tinggal mereka. Namun, karena terlalu takut akhirnya dia jatuh ke tanah. Dalam keadaan putus asa dia terus meneriakkan uter! Uter! Uter! Uter! Uterior! Uterior! Terior!
Tanpa sadar, tubuh Wuring ditumbuhi bulu-bulu. Dia kemudian memiliki sayap. Mulutnya menjadi monyong. Dalam keadaan gelisah dan takut karena perubahan yang terjadi pada raganya, dia berlari tak tentu arah. Tiba-tiba tubuhnya melayang. Dia terbang sembari berteriak terior! Terior! Wuring kemudian terbang menuju ke sabuah dan bertengger di atapnya. “Terior! Terior! Terior!”
Karena penasaran dengan bunyi yang terus saja terdengar itu, ibu Wuring memaksakan dirinya untuk keluar. Tak disangkahnya anaknyalah yang dia lihat. Wuring yang sedang berubah menjadi burung itu meneteskan air mata. Tak bisa lagi dia berbicara dalam bahasa manusia. Yang bisa dia ucapkan hanyalah terior! terior! terior! Ibunyapun menangis histeris.
“Wuring, maafkan ibu! Maafkan ibu yang jahat padamu, nak.”
Wuring yang kini sudah menjadi seekor burung sepenuhnya tak sanggup lagi melihat ibunya menitik air mata terus menerus. Dia tak tahan melihat memikirkan kemalangan ibunya yang kehilangan seorang anak untuk membantunya yang mulai uzur. Wuring kemudian terbang lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Di hari-hari berikutnya dia terus datang menengok ibunya. Setiap sore dia terbang kesana kemari di atas sabuah ibunya sambil berucap terior…terior…terior!

* Sabuah (Bah. Tontemboan Minahasa): gubuk
* Cerita ini dilisankan oleh Lexy Sual (ayah penulis). Konon, cerita ini dituturkan oleh para orangtua mereka dulu.

GARAGARA OPOL


sebuah cerpen

iswan sual
Sudah hampir sebulan aku tak melihat anak perempuanku. Bolak-balik aku mencarinya di seluruh sudut kampung. Namun, aku tak menemukannya.
“Dimana Nini?” tanyaku pada istriku. Dia hanya sibuk dengan kukunya. Tanpa mempedulikan kegetiranku.
Hari berikutnya datang. Masih juga tak bisa kulihat anak tunggalku itu. Dari tetangga aku tahu bahwa anakku telah dibawa oleh seorang  wanita dari Dolodu’o. Aku langsung naik pitam begitu mendengarnya. Segera kucari si Opol. Wanita Dolodu’o itu adalah istrinya. Parang dan pisau yang kusimpan di bawah ranjang kurogoh. Ku sematkan di pinggang. Aku siap membuat orang merenggang nyawa. Dan aku juga siap untuk mati. Tujuanku adalah mencari si Opol. Istrinyalah yang yang membawa lari anak perempuanku.
“Opol, dimana ngana pe bini?” kataku mencak-mencak.
“Kita nda tau,” jawab Opol dingin.
Tak sedikitpun Opol merasa terbeban dengan kepedihanku dalam hati. Aku terpukul. Kukeluarkan pisau dan kutodongkan tepat di lehernya.
“Kalu ngana nda mo bertanggungjawab. Ta bunung ngana di sini!” ancamku. Kancing-kancing kemeja berhamburan di tanah setelah kutarik dengan membabi buta. Dia mendadak ketakutan.
“Iyo…iyo Lex. Nanti kita mo bertanggungjawab,” opol memohon belas kasihan. Kini celana coklatnya kuyup oleh pesingnya. Dua kakinya yang besar-besar gemetar tak tahu kemana. Rupanya gertakkanku cukup berguna. Memang gertakkan itu tidak hanya isapan jempol belaka bila anak perempuanku tak kulihat besok. Opol yang ketakutan nampak memeras otak. Memikirkan sesuatu. Sore itu juga dia menjual rumah dan tanahnya sekaligus untuk kami pakai dalam pencarian anak perempuanku.
***
“Aku harus ikut bersama kalian. Aku tahu dimana tepatnya si Hoce membawa Nini anakmu,” kata Fredrik, “Dia cucuku. Aku merasa harus turut kalian dalam pencarian.”
Aku tak tahu pasti apa benar orang ini betul-betul ingin mencari anakku atau karena inginkan jalan-jalan gratis karena tahu kebetulan ada yang akan menanggung biayanya. 
Subuh-subuh kami menuruni jalan yang penuh becek. Dengan menggunakan obor kami menyusuri jalan yang jauh dari merdeka itu. Repelita Suharto tak sedikit menyentuh desa kami yang tak pernah aku lihat pada peta di kantor kecamatan. Kami tiba di Ongkau kira-kira masih jam 5.00 subuh. Tak berapa lama, mobil telanjang yang lewat memuat dan membawa kami ke Kotamobagu. Kami mengganti pakaian yang sudah berbau bermacam aliran bau. Selain bekal makanan, kami memang telah sengaja membawa tiga pasang pakaian.
Perjalanan panjang membuat aku semakin gelisah. Membayangkan hal-hal buruk telah terjadi pada anakku. Empat jam kemudian kami tiba di Kotamobagu. Sempat mampir sebentar untuk mengisi perut yang keroncongan. Dari Kotamobagu kami menuju Dolodu’o. Opol terlihat begitu tegang. Aku juga pedih membayangkan anakku. Tak tahu apa dia masih dalam keadaan baik atau sudah tewas mengenaskan. Sebulan bukanlah waktu yang pendek. Terpisah dengan pujaan hati tentu begitu menyakitkan. Mungkin dia sudah menjadi korban lelaki dewasa yang maniso. Aku hanya berharap semua yang ada dalam bayanganku tidak benar.
Lama dalam perjalanan. Jalanan lurus membuatku bosan duduk. Beberpa kali aku musti berdiri karena kejang pantat. Ditambah lagi hanya terlihat pemandangan hanya itu-itu saja. Jalanan sepanjang pantai begitu membosankan. Terik panas memanggang memperburuk suasana.
“Kita berhenti di sini, sopir,” kata Frederik setelah menepuk bahu sopir. Aku terbangun dari tidurku. Kini kami sudah di Dolo’duo. Konon, orang Minahasa yang gagah berani berperang mengejar orang Mongondo sampai ke tanah ini. Barulah perang itu selesai ketika Belanda menjadi penengah.
Kami turun. Diantar Fredrik kami masuk ke dalam sebuah rumah yang besar dengan cat berwarna putih. Tak ada orang di rumah. Beberapa kali ketukan memekik namun tak ada yang membukakan pintu. Seorang tua dari tetangga terlihat keluar dari halaman mengamat-amati.
“Mo cari sapa?” tanya orang tua itu.
“Kami mencari seorang perempuan bernama Hoce Walangitan,” kata Hendrik sambil mendekat pada orang tua itu. Mencoba bersahabat. Si orang tua tampak keheranan melihat ada orang asing. Kulihat dahinya mengernyit pertanda pertanyaan lain bermunculan dalam benaknya.
“Oh, mereka ada di perkebunan Toraut,” kata pak tua, “Sudah hampir dua minggu mereka semua di sana.”
Pikiranku bercampur aduk. Membayangkan anakku. Jangan-jangan dia telah dijadikan tumbal oleh para Mongondo untuk menyembah para leluhur mereka yang telah pergi. Mungkin juga mereka hendak melampiaskan kekalahan leluhur mereka saat berperang dengan leluhur kami ratusan tahun yang lalu. Darah Minahasa yang mengalir dalam darah anakku dirasa mereka sangat pas untuk menyenangkan arwah leluhur mereka yang menjadi korban kegagahan dan keberingasan berperang para Waraney yang menyerang balik hingga Dolodu’o.
“Saya tahu di mana perkebunan Toraut itu. Mari kita mencari kendaraan untuk membawa kita kesana,” usul Hendrik. Dia semakin bersemangat hendak memuaskan nafsu petualangannya.
“Aku tak bisa ikut kalian kesana. Aku tinggal di sini saja,” sambung Opol, “Kalau aku kesana aku pasti akan menjadi mayat. Mereka akan mencincangku dan melemparkan daging-dagingku ke dalam kolam dan dilahap ikan-ikat lapar.”
Sangat tidak bertanggungjawab! Bangsat!
“Opol, kamu harus ikut bersama kami. Jangan berani kau menghindar! Akan kucari kau sampai ke ujung bumi bila kau coba melarikan diri. Tak segan aku membuat kamu mampus meski kita berada di kampung orang,” kataku dengan mata hampir lepas keluar. Pisau yang tadinya terselip di pinggang kusandarkan lagi ke lehernya. Badannya berkeringat hebat. Totofore. Gemetar.
“Biarkan dia di sini saja. Dia takkan lari,” kata Frederik, “Aku yakin dia takkan melarikan diri.”
Kusingkirkan pisau dari lehernya. Kembali kusisipkan di pinggang. Namun amarahku belum pergi.
Mobil telanjang yang kami tumpangi meluncur ke arah yang ditunjuk Frederik. Awalnya aku pikir tak akan makan waktu lama ke tujuan. Namun perkiraanku keliru. Walaupun capek, kupaksakan membuka lebar-lebar mataku. Tak sabar melihat putriku yang masih terlampau polos itu. Heran aku kenapa aku hampir gila memikirkannya tapi ibunya yang melahirkan dia tenang-tenang saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Dasar perempuan tak berperasaan! Beginilah jadinya rumah tangga yang tak didasarkan oleh cinta. Hanya semata harta. Orangtua Tine dulu merengek-rengek pada orangtuaku agar kami dikawinkan. Waktu itu memang keluargaku orang berada.
***
Tepat di kaki bukit kami turun. Nampak hamparan perkebunan yang luas. Barisan pohon jagung dan sayuran laksana barisan tentara berlaksa-laksa yang dipimpin Daud. Siap menghancurkan satu dinasti di depan mata.
Tibalah kami di satu sabuah yang sangat besar. Panjangnya mirip gudang yang mampu menampung bertonton kopra. Di soldor tergelar kedelai dan jagung yang tak bisa diukur banyaknya. Banyak. Ayah-ayam berlarian saling berkejaran. Tikar-tikar penuh dengan jagung yang tak habis dimakan ayam dan bebek. Ada banyak orang berkerumun. Mereka memandang kami dengan mata penuh awas. Di tangan mereka masing-masing ada parang. Mereka tampak kumal. Keremos oleh tanah-tanah di ladang.
“Selamat siang,” dengan kompak kami menyapa.
“Selamat siang. Dari mana ini?” kata seorang setengah baya. Dia terlihat begitu perkasa dengan topi koboinya. Tubuh tegaknya menyiratkan dia adalah keturunan Waraney. Dari perawakannya dapat disingkap bahwa leluhurnya juga turut menyerang hingga  mereka ada di tanah itu. Dia mungkin tak tahu kebaradaannya di Dolodu’o karena peristiwa penyerangan itu.
“Torang dari Minahasa,” kataku hendak menjelaskan.
“Minahasa? Ngoni bawa surat jalan?”
Aku menyodorkan Surat Jalan yang saya bawa dari kampung. Sudah tengah malam surat itu dibuat oleh seorang Sekretaris Desa yang bernaa Bernard. Tak peduli walaupun tak dibayar sepeser pun. Dia terkesima saat kusampaikan maksud pembuatan surat jalan itu. Dia terkejut tahu bahwa Nini anakku telah hilang. Dia kaget bukan kepalang mendengar Nini hilang. Anak itu sudah diangggapnya anaknya sendiri.
“Mo apa jao-jao datang dari Minahasa,” kata si koboi sambil melihat-lihat surat jalan itu.
“Kami mau mencari anak kami yang bernama Nini. Dia dibawa oleh seorang perempuan yang bernama Hoce Walangitan. Seseorang di Dolodu’o memberitahu kami kalau kami bisa menemukan mereka di sini,” kataku panjang lebar.
Sengaja kutunjukkan muka pengasihan. Berharap itu boleh menggugah para koboi Mongondo ini.
“Oh bagitu. Tu anak ada. Tiap hari dia manangis pangge-pangge dia pe mama deng papa. Hoce kwa kita pe anak dia bilang tu anak yang dia bawa-bawa itu dia pe bos pe anak di Tondano,” kata koboi sambil membetulkan topinya karena menyebabkan kepala gatal-gatal. Kulihat dia membisikkan sesuatu kepada istrinya. Sang istripun berlari cepat ke belakang.
Tak bisa digambarkan dengan untaian kata-kata mengenai perasaanku saat si pak tua memberitahu bahwa anakku masih hidup. Mudah-mudahan mereka jujur. Mudah-mudahan mereka tidak berkata demikian hanya untuk menghiburku.
“Fani, antar om ini. Panggil kakakmu. Dia mungkin sedang mencuci di kali,” pak tua menyuruh.
Seorang anak remaja berlari mendekatiku. Akupun dituntunnya menyusuri jalanan kerikil yang jauh. Semakin lama aku semakin lemas. Rasanya tak tahan lagi.
“Dek masih jauh?” tanyaku pada anak yang bernama Fani itu.
“Om lihat deretan alat-alat berat itu. Dekat situlah kalinya. Tapi om tidak usah kesana. Di sana banyak orang Bugis. Mereka tidak mengenal om. Bisa-bisa om dicincang mereka,” kata anak ingusan itu.
Aku sedikit takut mendengar anak itu bercerita. Kulihat sekeliling. Ada wa’tang di pinggir jalan. Kuputuskan untuk duduk disitu sambil berteduh. Sambil memandangi anak ingusan itu. Aku tertunduk kelelahan. Air mata tertumpah. Pikiranku kacau. Dalam hati aku berandai-andai tentang anakku. Mungkin dia sebenarnya sudah tak ada. Mungkin pak tua hanya menghiburku. Barangkali dia menunda-nunda kabar buruk. Dalam diam terisak berat. Oh putriku yang malang! Dimana sebenarnya kamu? Papa rindu sama kamu nak.
Saat penat mulai menjauh kulihat tiga sosok sebesar semut mengarah kepadaku. Kutunggui dengan sabar. Lama kelamaan satu sosok terlihat mendekat dengan cepat. Hatiku deg-degan bercampur aduk. Kulihat gerak-gerik sosok yang mendekat itu. Sangat kukenal. Mungkin dia anakku. Rasa gembira menuntut. Akupun tak sabar menunggu lebih lama. Kuberlari menyusul. Dua gerak saling mendekat. Persis seperti di film-film.
“Papa! Papa! Papa!” terlihat dengan gamblang dia benar-benar anakku. Wajahnya begitu terang. Memancarkan sinar yang menyegarkan jiwa.
“Nini! Niiini!!” langkah kaki semakin cepat. Kupeluk anakku yang cantik itu. Kuangkat dia ke langit. Kini beratnya telah berkurang. Pipinya masuk ke dalam. Tapi putriku masih menawan. Dia sungguh cantik rupawan. Putriku sungguh merindukan aku. Dia tak mau melepaskan dekapannya. Rasa capekku hilang.
Satu sosok lain berlari mendekat. Melambai-lambai seperti seorang di tengah laut berteriak, “Mayday…mayday…mayday.” Dari perawakan kusimpulkan dia seorang perempuan. Dan itu benar.
“Om tolong pa kita ne. Jang bilang pa papa kalu kita deng Opol so kaweng. Dia mo bunung pa kita. Kita kwa so nda suka mo bakubale deng Opol. Dia da tipu pa kita. Dia bilang dia orang kaya. Ternyata dia kote cuma orang suruhan di Amurang.”
“Opol ada. Cuma dia ada di Dolodu’o.”
“Ado kasiang om. Lebe bae om pulang jo capat kong bilang pa dia cepat jo lari. Jang dorang mo teto pa dia. Ada le tu orang sana yang dia tipu. Kalu dorang dapa, kita nintau apa yang mo jadi.”
Tapi banyak bicara lagi aku merangkul anakku dan menuju ke gudang kopra dimana orang tua Hoce berada. Jalanan bisa tempuh dengan enteng kini. Tawaran untuk makan siang si koboi kami acuhkan dan langsung menuju ke Dolodu’o. di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang yang terus memandangi. Opol begitu ketakutan begitu kami tiba.
“Kalu ngoni terlambat sadiki, korang mayat kita.”
“Kyapa?”
“Napa tu opa di sablah so pigi ke kobong mo lapor kalu kita so kaweng deng depe anak. Cuma tu anak so mati. Ada orang kampung datang babilang. Kita le nintau sapa...”
Belum selesai Opol bicara tampak ada tiga kendaraan beriringan di belakang kami. Semua penumpang yang ada dalam truk mengacungkan golok dan tombak. Tampak kemarahan dialamatkan kepada kami. Dengan keras aku menepuk bahu sopir dan membentak agar dia segera melarikan kami sejauh mungkin. Sopir yang mendadak bangun itu seperti kesetanan. Tiga kendaraan di belakang kami hilang tak berbekas.
Marore, 12 November 2012